Tips Mudik Penuh Berkah (Seri 1)
Pertama, melakukan shalat istikharah terlebih dahulu
untuk memohon petunjuk kepada Allah mengenai waktu safar, kendaraan yang
digunakan, teman perjalanan dan arah jalan.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami shalat istikhoroh dalam setiap perkara
sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami Al Qur’an.”[1]
Kedua, jika sudah bulat melakukan perjalanan, maka
perbanyaklah taubat yaitu meminta ampunan pada Allah dari segala macam maksiat,
mintalah maaf kepada orang lain atas tindak kezholiman yang pernah dilakukan,
dan minta dihalalkan jika ada muamalah yang salah dengan sahabat atau lainnya.
Ketiga, menyelesaikan berbagai persengketaan, seperti
menunaikan utang pada orang lain yang belum terlunasi sesuai kemampuan,
menunjuk siapa yang bisa menjadi wakil
tatkala ada utang yang belum bisa dilunasi, mengembalikan barang-barang
titipan, mencatat wasiat, dan memberikan nafkah yang wajib bagi anggota
keluarga yang ditinggalkan.
Keempat, meminta restu dan ridho orang tua atau
keluarga, tempat berbakti dan berbuat baik.[2]
Kelima, melakukan safar atau perjalanan bersama tiga
orang atau lebih. Sebagaimana hadits,
“Satu pengendara (musafir) adalah syaithan, dua pengendara
(musafir) adalah dua syaithan, dan tiga pengendara (musafir) itu baru disebut
rombongan musafir.”[3]
Yang dimaksud dengan syaithan di sini adalah jika kurang
dari tiga orang, musafir tersebut sukanya membelot dan tidak taat.[4] Namun larangan
di sini bukanlah haram (tetapi makruh) karena larangannya berlaku pada masalah
adab.[5]
Keenam, mengangkat pemimpin dalam rombongan safar
yang mempunyai akhlaq yang baik, akrab, dan punya sifat tidak egois. Juga mencari teman-teman yang baik
dalam perjalanan. Adapun perintah untuk mengangkat pemimpin ketika safar adalah,
“Jika ada tiga orang
keluar untuk bersafar, maka hendaklah mereka mengangkat salah di antaranya sebagai
ketua rombongan.”[6]
Ketujuh, dianjurkan untuk melakukan safar pada hari
Kamis sebagaimana kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Ka’ab bin
Malik, beliau berkata,
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis. Dan telah menjadi
kebiasaan beliau untuk bepergian pada hari Kamis.”[7]
Dianjurkan pula untuk mulai bepergian pada pagi hari karena
waktu pagi adalah waktu yang penuh berkah. Sebagaimana do’a Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pada waktu pagi,
“Ya Allah, berkahilah
umatku di waktu paginya.”[8]
Ibnu Baththol mengatakan,
“Adapun Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
mengkhususkan waktu pagi dengan mendo’akan keberkahan pada waktu
tersebut daripada waktu-waktu lainnya karena waktu pagi adalah waktu
yang biasa digunakan
manusia untuk memulai
amal (aktivitas). Waktu
tersebut adalah waktu
bersemangat (fit) untuk
beraktivitas. Oleh karena
itu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengkhususkan do’a pada waktu tersebut
agar seluruh umatnya mendapatkan berkah di dalamnya.”[9]
Juga waktu terbaik untuk melakukan safar adalah di
waktu duljah. Sebagian ulama mengatakan
bahwa duljah bermakna awal
malam. Ada pula
yang mengatakan seluruh
malam karena melihat kelanjutan hadits. Jadi dapat kita
maknakan bahwa perjalanan di waktu
duljah adalah perjalanan di malam
hari[10].
Perjalanan di waktu malam itu sangatlah baik karena ketika
itu jarak bumi seolah-olah didekatkan.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hendaklah kalian
melakukan perjalanan di malam hari, karena seolah-olah bumi itu terlipat ketika
itu.”[11]
Kedelapan, melakukan shalat dua raka’at ketika hendak
pergi[12]. Sebagaimana terdapat hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika engkau keluar
dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang dengan ini akan menghalangimu
dari kejelekan yang ada di luar rumah. Jika engkau memasuki rumahmu, maka
lakukanlah shalat dua raka’at yang akan menghalangimu dari kejelekan yang masuk
ke dalam rumah.”[13]
Kesembilan,
berpamitan kepada keluarga
dan orang -orang yang
ditinggalkan. Do’a yang
biasa
diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang
yang hendak bersafar adalah,
“Astawdi’ullaha diinaka, wa
amaanataka, wa khowaatiima ‘amalik (Aku menitipkan agamamu, amanahmu,
dan perbuatan terakhirmu kepada Allah)”[14].
Kemudian hendaklah musafir atau yang bepergian mengatakan
kepada orang yang ditinggalkan,
“Astawdi’ukumullah alladzi laa tadhi’u wa daa-i’ahu (Aku
menitipkan kalian pada Allah yang tidak
mungkin menyia-nyiakan titipannya).”[15]
Kesepuluh, ketika keluar rumah dianjurkan membaca
do’a:
“Bismillahi tawakkaltu ‘alallah laa hawla wa laa quwwata
illa billah” (Dengan nama Allah, aku
bertawakkal kepada-Nya, tidak ada daya dan kekuatan kecuali
dengan-Nya)[16].
Atau bisa pula dengan do’a:
“Allahumma inni
a’udzu bika an adhilla aw udholla, aw azilla aw uzalla, aw azhlima aw uzhlama,
aw ajhala aw yujhala ‘alayya” [Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
kesesatan diriku atau disesatkan orang lain, dari ketergelinciran diriku atau
digelincirkan orang lain, dari menzholimi diriku atau dizholimi orang lain,
dari kebodohan diriku atau dijahilin orang lain] [17].
Artikel www.muslim.or.id
Footnote:
[1] HR. Bukhari no.
6382, 7390
[2] Adab pertama sampai keempat dijelaskan dalam Al Ghuror
As Saafir fiima Yahtaaju ilaihil Musaafir,
hal. 15-16, Al Imam Az Zarkasiy, Asy Syamilah.
[3] HR. Malik, Abu
Daud, At Tirmidzi, Al Hakim, Al Baihaqi dan Ahmad. Ibnu Hajar mengatakan bahwa
hadits ini hasan sebagaimana dalam Fathul Bari, 8/468.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 62.
[4] Lihat Fathul
Bari, 8/468, Mawqi’ Al Islam, Asy
Syamilah dan penjelasan Syaikh Al Albani dalam As
Silsilah Ash Shohihah no. 62.
[5] Lihat perkataan
Ath Thobari yang dibawakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari, 8/468
[6] HR. Abu Daud no.
2609. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[7] HR. Bukhari no.
2950.
[8] HR. Abu Daud no.
2606 dan At Tirmidzi no. 1212. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih dilihat dari jalur lainnya (baca: shahih lighoirihi).
Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1693.
[9] Syarhul Bukhari
Libni Baththol, 9/163, Asy Syamilah
[10] Lihat ‘Aunul
Ma’bud, 7/171, Muhammad Syamsul Haq Abu Ath Thoyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah,
Beirut, cetakan kedua, 1415 H.
[11] HR. Abu Daud, Al Hakim, dan Al Baihaqi. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat
As Silsilah Ash Shahihah no. 681.
[12] Lihat pembahasan
di Jaami Shohih Al Adzkar, hal. 153, Abul Hasan Muhammad bin Hasan Asy
Syaikh, Darul ‘Awashim, cetakan kedua, Januari 2006.
[13] HR. Al Bazzar. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shohihah
no. 1323.
[14] HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Lihat
As Silsilah Ash Shahihah no. 14 dan 15.
[15] HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih Ibnu Majah
2295.
[16] HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dari Anas bin Malik. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1605.
[17] HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Ummu Salamah. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 2442.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar