AHLAN WA SAHLAN

Kamis, 12 Januari 2017

Tips Mudik Penuh Berkah (Seri 1)

Tips Mudik Penuh Berkah  (Seri 1)

Pertama, melakukan shalat istikharah terlebih dahulu untuk memohon petunjuk kepada Allah mengenai waktu safar, kendaraan yang digunakan, teman perjalanan dan arah jalan.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami shalat istikhoroh dalam setiap perkara sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami Al Qur’an.”[1]

Kedua, jika sudah bulat melakukan perjalanan, maka perbanyaklah taubat yaitu meminta ampunan pada Allah dari segala macam maksiat, mintalah maaf kepada orang lain atas tindak kezholiman yang pernah dilakukan, dan minta dihalalkan jika ada muamalah yang salah dengan sahabat atau lainnya.

Ketiga, menyelesaikan berbagai persengketaan, seperti menunaikan utang pada orang lain yang belum terlunasi sesuai kemampuan, menunjuk  siapa yang bisa menjadi wakil tatkala ada utang yang belum bisa dilunasi, mengembalikan barang-barang titipan, mencatat wasiat, dan memberikan nafkah yang wajib bagi anggota keluarga yang ditinggalkan.

Keempat, meminta restu dan ridho orang tua atau keluarga, tempat berbakti dan berbuat baik.[2]

Kelima, melakukan safar atau perjalanan bersama tiga orang atau lebih. Sebagaimana hadits, 


“Satu pengendara (musafir) adalah syaithan, dua pengendara (musafir) adalah dua syaithan, dan tiga pengendara (musafir) itu baru disebut rombongan musafir.”[3]
Yang dimaksud dengan syaithan di sini adalah jika kurang dari tiga orang, musafir tersebut sukanya membelot dan tidak taat.[4] Namun larangan di sini bukanlah haram (tetapi makruh) karena larangannya berlaku pada masalah adab.[5]

Keenam, mengangkat pemimpin dalam rombongan safar yang mempunyai akhlaq yang baik, akrab, dan punya sifat tidak egois. Juga mencari teman-teman yang baik dalam perjalanan. Adapun perintah untuk mengangkat pemimpin ketika safar adalah,


 “Jika ada tiga orang keluar untuk bersafar, maka hendaklah mereka mengangkat salah di antaranya sebagai ketua rombongan.”[6]

Ketujuh, dianjurkan untuk melakukan safar pada hari Kamis sebagaimana kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Ka’ab bin Malik, beliau berkata,


 “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis. Dan telah menjadi
kebiasaan beliau untuk bepergian pada hari Kamis.”[7]

Dianjurkan pula untuk mulai bepergian pada pagi hari karena waktu pagi adalah waktu yang penuh berkah. Sebagaimana do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu pagi,


 “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”[8]

Ibnu  Baththol  mengatakan,  “Adapun  Nabi  shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam  mengkhususkan  waktu  pagi dengan mendo’akan keberkahan pada waktu tersebut daripada waktu-waktu lainnya karena waktu pagi adalah  waktu  yang  biasa  digunakan  manusia  untuk  memulai  amal  (aktivitas).  Waktu  tersebut adalah waktu  bersemangat  (fit)  untuk  beraktivitas.  Oleh  karena  itu,  Nabi  shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam mengkhususkan do’a pada waktu tersebut agar seluruh umatnya mendapatkan berkah di dalamnya.”[9]

Juga waktu terbaik untuk melakukan safar adalah di waktu  duljah. Sebagian ulama mengatakan bahwa duljah  bermakna  awal  malam.  Ada  pula  yang  mengatakan  seluruh  malam  karena  melihat kelanjutan hadits. Jadi dapat kita maknakan bahwa perjalanan di waktu  duljah  adalah perjalanan di malam hari[10].

Perjalanan di waktu malam itu sangatlah baik karena ketika itu  jarak bumi seolah-olah didekatkan. Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


 “Hendaklah kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena seolah-olah bumi itu terlipat ketika itu.”[11]

Kedelapan, melakukan shalat dua raka’at ketika hendak pergi[12]. Sebagaimana terdapat hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


 “Jika engkau keluar dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang dengan ini akan menghalangimu dari kejelekan yang ada di luar rumah. Jika engkau memasuki rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang akan menghalangimu dari kejelekan yang masuk ke dalam rumah.”[13]

Kesembilan,  berpamitan  kepada  keluarga  dan  orang -orang  yang  ditinggalkan.  Do’a  yang  biasa
diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang hendak bersafar adalah,


“Astawdi’ullaha diinaka, wa  amaanataka, wa khowaatiima ‘amalik (Aku menitipkan agamamu, amanahmu, dan perbuatan terakhirmu kepada Allah)”[14].

Kemudian hendaklah musafir atau yang bepergian mengatakan kepada orang yang ditinggalkan,


“Astawdi’ukumullah alladzi laa tadhi’u wa daa-i’ahu (Aku menitipkan kalian pada Allah yang tidak
mungkin menyia-nyiakan titipannya).”[15]

Kesepuluh, ketika keluar rumah dianjurkan membaca do’a:


“Bismillahi tawakkaltu ‘alallah laa hawla wa laa quwwata illa billah” (Dengan nama Allah, aku
bertawakkal kepada-Nya, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya)[16].

Atau bisa pula dengan do’a:

 “Allahumma inni a’udzu bika an adhilla aw udholla, aw azilla aw uzalla, aw azhlima aw uzhlama, aw ajhala aw yujhala ‘alayya” [Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan diriku atau disesatkan orang lain, dari ketergelinciran diriku atau digelincirkan orang lain, dari menzholimi diriku atau dizholimi orang lain, dari kebodohan diriku atau dijahilin orang lain] [17].



Footnote:
[1]  HR. Bukhari no. 6382, 7390
[2] Adab pertama sampai keempat dijelaskan dalam Al Ghuror As Saafir fiima Yahtaaju ilaihil Musaafir,
hal. 15-16, Al Imam Az Zarkasiy, Asy Syamilah.
[3]  HR. Malik, Abu Daud, At Tirmidzi, Al Hakim, Al Baihaqi dan Ahmad. Ibnu Hajar mengatakan bahwa
hadits ini hasan sebagaimana dalam Fathul Bari, 8/468. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 62.
[4]  Lihat Fathul Bari,  8/468, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah dan penjelasan Syaikh Al Albani dalam As
Silsilah Ash Shohihah no. 62.
[5]  Lihat perkataan Ath Thobari yang dibawakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari,  8/468
[6]  HR. Abu Daud no. 2609. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[7]  HR. Bukhari no. 2950.
[8]  HR. Abu Daud no. 2606 dan At Tirmidzi no. 1212. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih dilihat dari jalur lainnya (baca: shahih lighoirihi). Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1693.
[9]  Syarhul Bukhari Libni Baththol, 9/163, Asy Syamilah
[10]  Lihat ‘Aunul Ma’bud, 7/171, Muhammad Syamsul Haq Abu Ath Thoyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah,
Beirut, cetakan kedua, 1415 H.
[11] HR. Abu Daud, Al Hakim, dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini  shahih. Lihat
As Silsilah Ash Shahihah no. 681.
[12]  Lihat pembahasan di Jaami Shohih Al Adzkar, hal. 153, Abul Hasan Muhammad bin Hasan Asy
Syaikh, Darul ‘Awashim, cetakan kedua, Januari 2006.
[13] HR. Al Bazzar. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shohihah
no. 1323.
[14] HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini  shahih. Lihat
As Silsilah Ash Shahihah no. 14 dan 15. 
 [15]  HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih Ibnu Majah
2295.
[16] HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dari Anas bin Malik. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1605.
[17] HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Ummu Salamah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini

shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 2442.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar