AHLAN WA SAHLAN

Kamis, 05 Januari 2017

Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy, Pendiri gerakan Hizbut Tahrir



Aktivitas Politik Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy

                Sejak remaja asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy sudah memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, asy-Syaikh Yusuf An Nabhaniy rahimahullah. Asy-Syaikh Yusuf An Nabhaniy pernah terlibat diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh peradaban Barat, seperti asy-Syaikh Muhammad Abduh, para pengikut ide pembaharuan (modernisme), tokoh-tokoh Freemasonry, dan pihak-pihak lain yang membangkang terhadap Khilafah Utsmaniyah. Perdebatan-perdebatan politik dan aktivitas geraknya di antara para mahasiswa di al-Azhar dan di Kulliyah Darul Ulum, telah menyingkapkan pula kepedulian asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy akan masalah-masalah politik. Beberapa sahabatnya telah menceritakan sikap-sikapnya yang menggaungkan seruan-seruan yang bersifat menantang, yang mampu memimpin situasi al-Azhar saat itu. Di samping itu, beliau juga melakukan berbagai perdebatan dengan para ulama al-Azhar mengenai apa yang harus dilakukan dengan serius untuk membangkitkan umat Islam.

                Sebenarnya ketika asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy kembali dari Kairo ke Palestina dan ketika beliau menjalankan tugasnya di Kementerian Pendidikan Palestina, beliau sudah melakukan kegiatan yang cukup menarik perhatian, yakni memberikan kesadaran kepada para murid yang diajarnya dan orang-orang yang ditemuinya, mengenai situasi yang ada saat itu. Beliau juga membangkitkan perasaan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa mereka, di samping memperbarui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam. Beliau menyampaikan semua ini melalui khotbah-khotbah, dialog-dialog, dan perdebatan-perdebatan yang beliau lakukan. Pada setiap topik yang beliau sodorkan, hujjah beliau senantiasa kuat. Beliau memang mempunyai kemampuan yang tinggi untuk meyakinkan orang lain.

                Ketika beliau pindah pekerjaan ke bidang peradilan, beliau pun lalu mengadakan kontak dengan para ulama yang pernah beliau kenal dan beliau temui di Mesir. Kepada mereka beliau mengajukan ide untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam untuk membangkitkan kaum muslimin dan mengembalikan kemuliaan dan kejayaan mereka. Untuk tujuan ini pula, beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di Palestina dan mengajukan ide yang sudah mendarah daging dalam jiwa beliau itu kepada tokoh-tokoh terkemuka, baik dari kalangan ulama maupun para pemikir. Kedudukan beliau di Mahkamah Isti'naf di al-Quds sangat membantu aktivitas beliau tersebut. Dengan demikian, beliau dapat menyelenggarakan berbagai seminar dan mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di Palestina. Dalam kesempatan itu, beliau mengadakan dialog dengan mereka mengenai metode kebangkitan yang benar. Beliau banyak berdebat dengan para pendiri organisasi-organisasi sosial Islam (Jam'iyat al-Islamiyah) dan partai-partai politik yang bercorak nasionalis, patriotis, dan komunis. Beliau menjelaskan kekeliruan langkah mereka, kesalahan pemikiran mereka, dan rusaknya kegiatan mereka.

                Selain itu, beliau juga sering melontarkan berbagai masalah politik dalam khotbah-khotbah yang beliau sampaikan pada acara-acara keagamaan di masjid-masjid, seperti di Masjid al-Aqsha, Masjid Ibrahim al-Khalil (Hebron), dan lain-lain. Dalam kesempatan seperti itu beliau selalu menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, dengan menyatakan bahwa semua itu merupakan rekayasa penjajah Barat, dan merupakan salah satu sarana penjajah Barat agar dapat terus mencengkeram negeri-negeri Islam. Beliau juga sering membongkar strategi-strategi politik negara-negara Barat dan membeberkan niat-niat mereka untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Selain itu,  beliau berpandangan bahwa kaum muslimin berkewajiban untuk mendirikan partai politik yang berasaskan Islam.

                Ternyata hal ini membuat Raja Yordania, Abdullah bin al-Hussain marah. Kemudian dipanggillah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy untuk menghadap kepadanya, terutama karena khotbah yang pernah beliau sampaikan di Masjid Raya Nablus. Beliau disuruh hadir di suatu majelis lalu ditanya oleh Raja Abdullah mengenai apa yang menyebabkan beliau menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, termasuk  juga negeri Yordania. Dalam majelis itu, asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy ditanya tetapi tidak menjawab pertanyaan itu, dan malah berpura-pura tidak mendengar. Ini membuat Raja Abdullah mengulangi pertanyaannya tiga kali berturut-turut. Akan tetapi asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy tetap tidak menjawabnya. Maka Raja Abdullah pun naik pitam dan berkata kepada beliau, "Syaikh.. Apakah Anda akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan kami lindungi, atau apakah Anda juga akan memusuhi orang yang kami musuhi?"

                Mendengar pertanyaan itu, asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy berkata kepada dirinya sendiri, "Kalau aku tidak menyampaikan kebenaran hari ini, lalu apa yang harus aku katakan kepada orang-orang sesudahku nanti?" Kemudian asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy bangkit dari duduknya seraya berkata kepada Raja Abdullah, "Aku telah berjanji kepada Allah, rasul-Nya, dan kaum muslimin, bahwa aku akan menolong dan melindungi (agama) Allah dan akan memusuhi orang yang memusuhi (agama) Allah. Dan aku amat membenci sikap nifaq dan orang-orang munafik!" Maka marahlah Raja Abdullah mendengarkan jawaban itu, sehingga dia lalu mengeluarkan perintah untuk mengusir asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy dari majelis tersebut dan menangkap beliau. Kemudian asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy benar-benar ditangkap. Namun kemudian Raja Abdullah menerima permintaan maaf dari beberapa ulama atas sikap asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy tersebut lalu memerintahkan pembebasannya.

                Setelah peristiwa itu, beliau lalu kembali ke al-Quds. Dan sebagai akibat kejadian tersebut pula, beliau mengajukan pengunduran diri dari Mahkamah Peradilan dan menyatakan, "Sesungguhnya orang-orang seperti saya sebaiknya tidak bekerja untuk melaksanakan tugas apa pun dari sebuah pemerintahan."

                Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy kemudian mengajukan pencalonan dirinya untuk menduduki Majelis Perwakilan Rakyat. Namun karena sikap-sikapnya yang dinilai menyulitkan, aktivitas politik dan upayanya yang sungguh-sungguh untuk membentuk sebuah partai politik, dan keteguhannya berpegang kepada agama, maka akhirnya hasil pemilu menunjukkan bahwa asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy dianggap tidak layak untuk duduk dalam Majelis Perwakilan.

Oleh : [Muhammad Muhsin Radhi - Hizbut Tahrir: Tsaqafah dan Metodenya dalam Menegakkan Khilafah Islamiyah]

 Wafatnya Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy

                Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy enggan hidup sebagai penulis yang karya-karyanya hanya untuk melengkapi koleksi perpustakaan-perpustakaan, pengarang yang hasilnya hanya untuk dipelajari, peneliti yang hanya sebatas menemukan kebenaran, berkarir di bidang politik, atau sebagai pengajar politik, namun beliau ingin hidup sebagai peneliti dan penulis untuk menyadarkan umat dan membangkitkannya berdasarkan Islam, memerangi serangan pemikiran dan peradaban yang telah merasuk ke tengah-tengah para pelajar dalam waktu yang lama, berusaha keras membebaskan umat dari penjajahan pemikiran, frustasi dan serangan budaya, selanjutnya mengurusi urusan umat dengan Islam, setelah umat kembali lagi percaya dengan Islam dan solusi-solusinya.

                Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy rahimahullah menegaskan bahwa berkelompok dan berorganisasi harus di atas ideologi, agar ikatannya dalam berpartai adalah ikatan ideologis bukan ikatan (hubungan) pribadi. Sebab, hanya dengan cara ini dapat dijamin keberlangsungan dan kesatuan (keutuhan) partai, serta kelurusan kepemimpinan yang memimpinnya. Dengan ikatan ideologis ini, siapapun tidak memiliki otoritas selain terikat dengan fikrah dan thariqah (pemikiran dan pelaksanaannya), juga penilaian atas orang-orang yang tergabung dalam partai itu hanya berdasarkan pelayanan dan pegabdiannya terhadap ideologi, serta kreatifitasnya dalam merealisasikan tujuannya, dan menyatunya  dengan pemikirannya.

               Oleh karena itu, asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy rahimahullah menolak kepribadiannya dan ilmunya dijadikan topik pembahasan dan diskusi. Namun, meski demikian, asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy rahimahullah mengharuskan dirinya menyelami berbagai bidang pengetahuan, sehingga menghasilkan karya-karya ilmiyah yang istimewa meliputi bidang fiqih, pemikiran dan politik. Dengan begitu, asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy rahimahullah merupakan tokoh di antara tokoh pemikir dan politik pada abad dua puluh.

                Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy menghabiskan dua dekade kehidupannya yang terakhir sebagai orang yang terasing, terusir dan buronan yang dijatuhi hukuman mati. Namun, semua itu tidak menghalanginya dari beraktivitas secara terus-menerus, serta kegiatan-kegiatan secara serius dan tekun, dalam rangka menyebarkan pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir yang beliau dirikan, dan merealisasikan tujuannya berupa kembalinya kehidupan yang sesuai syari’at Islam dengan terlebih dahulu mendirikan Khilafah di atas metode kenabian. Kalau bukan karena asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy yang menghidupkan kembali pemikiran (ide) Khilafah di tengah-tengah umat setelah lama tertutup debu dan kotoran kebodohan, tentu maslahnya lain. Wallahu a’lam.

                Anggota parlemen Palestina, Muhammad Dawud Audah menceritakan bahwa asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy adalah seorang yang fakir, dan beliau wafat dalam keadaan fakir. Beliau tinggal di lantai lima pada sebuah apartemen. Beliau dengan rendah hati menaiki apatemennya dengan jalan kaki, sebab di apartemen itu masih belum ada lift. Di awal-awal dekade 1970-an, asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy pergi ke Irak. Beliau ditahan tidak lama setelah adanya kampanye besar-besaran penangkapan terhadap para anggota Hizbut Tahrir di Irak. Beliau disiksa dengan siksaan yang keras hingga beliau tidak mampu lagi berdiri karena banyaknya siksaan. Beliau terus-menerus mendapatkan siksaan hingga beliau mengalami kelumpuhan setengah badan (hemiplegia). Kemudian beliau dibebaskan dan segera ke Libanon. Di Libanon beliau mengalami kelumpuhan pada otak. Tidak lama kemudian beliau dilarikan ke rumah sakit dengan menggunakan nama samaran. Dan di rumah sakit inilah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy rahimahullahu wa ta’ala wafat. Beliau dikebumikan di pekuburan asy-Syuhada di Hirsy, Beirut di bawah pengawasan yang sangat ketat, dan dihadiri hanya sedikit orang di antara keluarganya.

                Tentang tanggal wafatnya masih simpang siur. Sebagian menyebutkan wafat pada tanggal 25 Rajab 1397 H./20 Juni 1977 M.. Pernyataan ini masih perlu dipertanyakan, sebab tanggal 25 Rajab 1397 H. tidak bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977 M., melainkan tanggal 30 Juni. Sedang koran ad-Dustur menyebutkan bahwa asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy wafat pada hari Kamis 19 Muharram 1398 H./29 Desember 1977 M.. Mungkin saja tanggal ini bukan tanggal wafatnya beliau, melainkan tanggal dipublikasikannya pengumuman kematian di koran, sebab Hizbut Tahrir mengumumkan kematian beliau dalam bayan (penjelasan) bahwa asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy wafat pada tangga 1 Muharram 1398 H. atau tanggal 11 Desember 1977 M. Dan ini yang lebih dipercaya untuk dijadikan pegangan. Ada sesuatu yang cukup menyakitkan hati atas hilangnya orang yang alim, mulia, dan pemikir untuk pembebasan, yaitu apa yang diceritakan oleh asy-Syaikh Dr. Abdul Aziz al-Khayyath bahwa semua media cetak di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam menolak mempublikasikan berita meninggalnya asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy. Asy-Syaikh al-Khayyath berkata: “Saya ingat bahwa saya berusaha kepada koran ad-Dustur dan pemimpin redaksinya ketika itu agar mempublikasikan sebuah berita duka, dan ia baru mau memenuhi keinginanku setelah didesak, dan akhirnya dipublikasikan dengan beberapa baris kecil —dan itu pun diletakkan di belakang salah satu halaman— berita tentang wafatnya asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy.

Semoga bermanfaat..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar