Wajah Asli Demokrasi
Kepada mereka yang masih tidak mengetahui hakekat demokrasi….
Kepada mereka yang memandang bahwa demokrasi adalah solusi
terbaik untuk menjawab problematika Islam dan kaum muslimin…
Kepada mereka yang mempropagandakan dan menyerukan
demokrasi..
Kepada mereka semua kami katakan, demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Maka tidak boleh ada kepemimpinan yang lebih tinggi dari
kedudukan rakyat, dan tidak ada kehendak yang boleh mengatasinya lagi, meskipun
itu kehendak Allah.
Bahkan dalam pandangan demokrasi dan kaum demokrat, kehendak
Allah dianggap sepi dan tidak ada nilainya sama sekali.
Demokrasi adalah suatu sistem yang menjadikan sumber
perundang-undangan, penghalalan dan pengharaman sesuatu adalah rakyat, bukan
Allah.
Hal itu dilakukan dengan cara mengadakan pemilihan umum yang
berfungsi untuk memilih wakil-wakil mereka di parleman (lembaga legislatif).
Hal ini berarti kedaulatan tertinggi di tangan manusia,
padahal islam mengajarkan kedaulatan tertinggi hukum syara'..
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa sikap demikian
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. (Yusuf:40)
dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam
menetapkan keputusan (al-Kahfi:26)
Demikian juga firman Allah
Mereka dianggap menjadi arbab (tuhan-tuhan) selain dari
Allah, karena mereka telah mengaku berhak membuat tasyri’, menghalakan dan
mengharamkan sesuatu, dan menetapkan undang-undang.
Demokrasi berarti mengembalikan segala bentuk pertengkaran
dan perselisihan, antara hakim dan yang dihukumi kepada rakyat, tidak kepada
Allah dan rasul-Nya.
Ini adalah penyelewengan dari firman Allah,
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya
(terserah) kepada Allah. (asy-Syura:10)
Bagi para penganut faham demokrasi akhir ayat ini diganti
dengan kalimat, maka putusannya (hukumnya) terserah kepada rakyat, dan bukan
diserahkan kepada selain rakyat.
Firman Allah,
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (an-Nisa’:59)
Allah menetapkan, bahwa di antara konsekuensi iman adalah
mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni
dengan mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah
Demokrasi adalah, sebuah sistem yang berprinsip pada
kebebasan berkeyakinan dan beragama.
Seseorang –dalam pandangan demokrasi– boleh berkeyakinan apa
saja yang ia maui, bebas memilih agama apa saja yang ia inginkan.
Ia bebas menentukan apa yang ia inginkan, dan seandainya ia
menginginkan untuk keluar dari Islam berganti agama lain, atau menjadi seorang
atheis, maka tiada masalah dan ia tidak boleh dipermasalahkan.
Adapun hukum Islam berlawanan dengan hal itu.
Berdasarkan hakekat nas-nas di atas, dan juga nash syara’
lainnya yang mempunyai hubungan dengan masalah ini, kita bisa mendudukkan
firman Allah
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
(al-Baqarah:256)
Demokrasi adalah sistem yang berprinsip pada kebebasan
berpendapat dan bertindak, apapun bentuk pendapat dan tindakannya, meskipun
mencaci maki Allah dan Rasul-Nya serta merusak agama, karena demokrasi tidak
mengenal sesuatu yang suci sehingga haram mengkritiknya atau membahasnya
panjang lebar.
Dan apapun bentuk pengingkaran terhadap kebebasan berarti
pengingkaran terhadap sistem demokrasi.
Dan itu berarti menghancurkan kebebasan yang suci, dalam
pandangan demokrasi dan kaum demokrat.
Demokrasi adalah sistem sekular dengan segala cabangnya, di
mana ia dibangun di atas pemisahan agama dari kehidupan dan kenegaraan.
Allah dalam pandangan demokrasi hanya diposisikan di pojok
surau dan masjid saja, adapun wilayah-wilayah selain itu, baik dalam wilayah
politik, ekonomi, sosial dan lain-lain maka wilayah itu bukan milik agama,
wilayah itu semua adalah milik rakyat.
Demokrasi adaah sistem yang berpijak pada prinsip kebebasan
individual, maka seseorang –menurut ajaran demokrasi– berhak melakukan apa saja
yang diinginkannya, termasuk melakukan tindakan yang mungkar, keji maupun yang
merusak, tanpa boleh diawasi.
Demokrasi adalah sistem yang menjadikan pilihan rakyat
sebagai orang yang berhak memimpin suatu bangsa, meskipun yang dipilih itu
adalah orang kafir, zindik ataupun murtad dari agama Allah.
Hal ini bertentangan dengan firman Allah
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada
orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (an-Nisa’:141)
Hal itu juga bertentangan dengan ijma’ umat Islam, bahwa
orang kafir tidak boleh memimpin kaum muslimin, dan negara kaum muslimin.
Demokrasi adalah sistem yang berdiri di atas landasan
persamaan semua manusia dalam hak dan kewajiban, dengan menutup mata dari
aqidah dan agama yang diikutinya, dan juga menutup mata dari biografi moralnya,
sehingga orang yang paling kufur, paling jahat dan paling bodoh disamakan
dengan orang yang paling taqwa, paling shalih dan paling pandai dalam
menetapkan persoalan yang sangat penting dan urgen, yaitu menyangkut siapa yang
berhak memerintah negeri dan masyarakat….
Hal ini bertentangan dengan firman Allah
Maka apakah patut kami menjadikan orng-orang Islam itu sama
dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau Adakah kamu (berbuat
demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan? (al-Qalam:35-36)
Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang
fasik? mereka tidak sama. (as-Sajdah;18)
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui?” (az-Zumar:9)
Dalam pandangan agama Allah mereka tidak sama, tetapi dalam
pandangan agama demokrasi mereka sama saja.
Demokrasi didirikan di atas prinsip kebebasan membentuk
berserikat dan organisasi, baik berupa organisasi politik (partai) maupun
organisasi non politik.
Dalam demokrasi bebas berserikat tanpa mempedulikan fikrah
dan manhaj yang menadi dasar (asas) organisasi itu.
Dengan begitu, setiap kumpulan dan setiap organisasi bebas
sebebas-bebasnya untuk menyebarkan kekufuran, kebatilan dan pemikiran yang
merusak di seluruh penjuru negeri.
Hal ini dalam pandangan syara’ adalah penerimaan dengan suka
rela akan keabsahan dan kebebasan melakukan tindakan kekufuran, kesyirikan,
kemurtadan dan kerusakan.
Sikap ini bertentangan dengan kewajiban untuk memerangi
kekufuran dan kemungkaran, sebagai bentuk dari nahi munkar sebagaimana firman
Allah
Di dalam hadis, yang shahih dari Rasulullah saw, beliau
bersabda
Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran maka
hendaklah mengubah dengan tangannya, jika tidak bisa hendaklah ia mengubah
dengan lisannya, jika tidak bisa hendaklah mengubah dengan hatinya, dan itulah
selemah-lemah iman (HR Muslim)
Hadis tersebut menyebutkan bahwa mengingkari dan mengubah
kemungkaran adalah kewajiban, meskipun hanya dengan hati ketika tidak mampu
lagi melakukan pengingkaran terhadap kemunkaran dengan tangan dan lisan.
Demikian juga sabda Rasulullah saw dalam hadis yang
menceritakan tentang penumpang perahu yang melobangi dinding perahu karena
enggan naik ke atas untuk mengambil air.
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya
itu dikatakan
“….Jika penumpang kapal lainnya membiarkan tindakan mereka
dan apa yang mereka kehendaki itu maka mereka semua akan tenggelam, tetapi jika
mereka mengambil tindakan terhadap mereka (yang melobangi perahu) maka mereka
akan selamat dan semuanya akan selamat….”
Demokrasi ditegakkan di atas prinsip menetapkan sesuatu
berdasarkan pada sikap dan pandangan mayoritas, apapun pola dan bentuk sikap
mayoritas itu, apakah ia sesuai dengan al-haq atau tidak.
Al-Haq menurut pandangan demokrasi dan kaum demokrat adalah
segala sesuatu yang disepakati oleh mayoritas, meskipun mereka bersepakat
terhadap sesuatu yang dalam pandangan Islam dianggap kebathilan dan kekufuran.
Di dalam Islam, al-haq yang mutlak itu harus dipegang sekuat
tenaga, meskipun mayoritas manusia memusuhimu, yaitu al-haq yang disebutkan di
dalam al-Qur’an dan sunnah. Al-Haq adalah ajaran yang sesuai dengan al-Qur’an
dan Sunnah, meskipun tidak disetujui oleh mayoritas manusia, sedangkan a-bathil
adalah ajaran yang dinyatakan batil oleh al-Qur’an dan sunnah, meskipun
mayoritas manusia memandangnya sebagai kebaikan.
Sebab keputusan tertinggi itu hanyalah hak Allah semata,
bukan di tangan manusia, bukan pula di tangan suara mayoritas
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka
bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta
(terhadap Allah) (al-An’am:116)
Jika dilihat dengan kaca mata demokrasi yang berprinsip
suara mayoritas, di manakah posisi nabi dan pengikutnya ini?
Ibnu al-Qayyim di dalam kitab A’lamul Muwaqqi’in mengatakan,
“ketahuilah bahwa ijma’, hujjah, sawad al-A’dham (suara mayoritas) adalah orang
berilmu yang berada di atas al-haq, meskipun hanya seorang sementara semua
penduduk bumi ini menyelisihinya.
Demokrasi dibangun di atas prinsip pemilihan dan pemberian
suara, sehingga segala sesuatu meskipun sangat tinggi kemuliaannya, ataupun
hanya sedikit mulia harus diletakkan di bawah mekanisme ambil suara dan pemilihan.
Meskipun yang dipilih adalah sesuatu yang bersifat syar’I (bagian dari
syati’ah.
Sikap ini tentu bertentangan dengan prinsip tunduk, patuh,
dan menyerahkan diri sepenuh hati serta ridla sehingga menghilangkan sikap
berpaling dari Allah, ataupun lancang kepada Allah dan Rasul-Nya.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah.
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka
(al-Ahzab:36)
Tetapi demokrasi akan mengatakan, “Ya, harus diadakan
pemilihan dulu, meskipun nantinya harus meninggalkan hukum Allah”
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (an-Nisa:65)
Demokrasi berdiri di atas teori bahwa pemilik harta secara
hakiki adalah manusia, dan selanjutnya ia bisa mengusakan untuk mendapatkan
harta dengan berbagai cara yang ia maui.
Ia bebas pula membelanjakan hartanya untuk kepentingan apa
saja yang ia maui, meskipun cara yang dipilihnya adalah cara yang diharamkan
dan terlarang di dalam agama Islam.
Inilah yang disebut dengan sistem kapitalisme liberal
Sikap ini berbeda secara diametral dengan ajaran Islam,
dimana mengajarkan bahwa pemilik hakiki harta adalah Allah swt.
Dan bahwasannya manusia diminta untuk menjadi khalifah saja
terhadap harta kekayaan itu, maka ia bertanggung jawab terhadap harta itu di
hadapan Allah; bagaimana ia mendapatkan dan untuk apa dibelanjakan…
Manusia dalam Islam tidak diperbolehkan mencari harta dengan
cara haram dan yang tidak sesuai dengan syara’ seperti riba, suap, dan
lain-lain……
Demikian juga ia tidak diizinkan untuk membelanjakan harta
untuk hal-hal yang haram dan hal-hal yang tidak sesuai dengan tuntunan syara’.
Manusia dalam ajaran Islam tidak memiliki dirinya sendiri,
sehingga ia bebas melakukan apa saja yang ia inginkan tanpa mempedulikan
petunjuk Islam.
Karena itulah melakukan hal-hal yang membahayakan diri dan
juga bunuh diri termasuk dosa besar yang terbesar, oleh Allah akan diberikan
balasan adzab yang pedih.
Pandangan seperti ini bisa kita dapatkan dalam firman Allah
Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau
berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan
dari orang yang Engkau kehendaki. (Ali Imran:26)
Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin
diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang
pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (at-Taubah:111)
Jiwa adalah milik Allah,
Dia miliki sendiri –jual beli khusus untuk orang mukmin–
untuk menggambarkan pemberian kemuliaan, kebaikan dan keutamaan kepada mereka,
sekaligus untuk mendorong mereka supaya berjihad dan mencari kesyahidan
Nabi saw apabila hendak mengirim seseorang menuju medan
jihad, beliau berpesan,
Sesungguhnya kepunyaan Allah lah apa yang Dia mabil dan
kepunyaan-Nya juga yang Dia berikan (HR Bukhari dan Abu Dawud)
Selanjutnya, seseorang tidak memiliki sesuatu yang
ditunjukkan untuk bisa diambil karena sesungguhnya dia bukanlah pemiliknya, dia
hanya mendapatkan titipan saja, sedang pemiliknya adalah Allah swt.
Secara ringkas, inilah demokrasi!!
Islam dan sikap seperti ini tidak akan pernah bersatu di
dalam agama Allah selamanya.
Semoga Bermanfaat..
Dari Berbagai Sumber..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar