AHLAN WA SAHLAN

Kamis, 16 Februari 2017

V-Day, Negara Kudu Ikut Campur

V-Day, Negara Kudu Ikut Campur



Oleh : Luky B Rouf
Creative Writer
Inspirator #YukMoveOn | Pengkader Pendakwah Ideologis
Publishing Manager Al Azhar Press
Kontributor Tabloid Mediua Umat, dakwahremaja.com
Owner D’Walimah Organizer Pernikahan Islami
Chief Operational Officer MoveON Inspiration 

“Wah, nggak nyangka lho kalo V-Day jadi urusan negara, kayak masalah politik aja !”  Tapi suer prend, dalam urusan V-Day ini musti jadi urusan negara juga. Koq bisa? Ya, soalnya V-day udah  melibatkan  banyak  orang  (baca:  masyarakat)  dan  di  sisi  lain  karena  emang  Islam bukan  ajaran  sekular,  yang  memisahkan  agama  untuk  mengatur  kehidupan.  Untuk  itu menuntaskan masalah V-Day, negara memang kudu ikut campur tangan. Setuju !?

Selama ini memang sudah ada beberapa pihak yang melarang V-Day seperti Pemerintah Kota Bukittinggi yang melarang remaja merayakan Valentin Day 14 Februari. Bagi remaja yang  terlihat  merayakan  bisa  dianggap  melanggar  Peraturan  Daerah  tentang Pemberantasan  Maksiat.  Pemerintah  akan  mengerahkan  100  satuan  polisi  pamong  praja merazia hotel serta menangkap remaja yang berduaan di jalan.  Wakil Wali Kota Bukittinggi Ismet  Amzis,  Rabu  (13/2)  mengatakan,  alasan  melarang  perayaan  Hari  Valentin  sematamata karena dianggap tidak sesuai adat istiadat Minagkabau dan agama Islam. "Itu bukan budaya kita, dan Valentin Day ini dekat dengan maksiat, maaf saja, di acara ini biasanya ada yang berpelukan, berciuman, itu kan maksiat," katanya.

Pemerintah  Kota  Bukittinggi  telah  menghimbau  sekolah-sekolah  untuk  mengerahkan siswanya  ke  masjid  dan  musola  pada  Kamis  (14/2).  "Kami  juga  telah  meminta  kepada seluruh pengurus masjid dan musola agar pada malam Valentin Day mengisi acara dengan ceramah agama untuk remaja," katanya. (Rabu, 13 Februari 2008, Tempo Interaktif).

Ini  membuktikan  bahwa  pihak-pihak  yang  mewakili  negara  tersebut  sebenarnya  udah ikut  care.  Sekaligus  ini  bukti  yang  nggak  bisa  dipungkiri  bahwa  untuk  melarang  V-Day, memang butuh campur tangan penguasa. Namun sikap  care  itu nggak berlanjut  ke tingkat yang  lebih  atas  alias  yang  punya  wewenang  atas  kebijakan  yang  berlaku  di  masyarakat, alias negara. Sehingga larangan dari berbagai pihak tadi lebih mirip sebagai singa ompong, galak di aturannya, tapi mlempem di penerapannya.

Tapi  kalo  emang  negara  ikut  campur  ngurusin  V-Day,  kenapa  juga  bukti  aturan  itu nggak bisa menyelesaikan masalah? Seperti di Arab Saudi, umat Islam di sana diharamkan untuk  memperingatinya  karena  dianggap  sebagai  perayaan  kaum  Kristen  yang  penuh kekufuran. Atau di bukit tinggi, padang panjang, sumatera juga dilarang.

Sobat,  seperti  udah  disebutkan  di  awal-awal  pembahasan  ini,  bahwa  pembahasan tentang  V-Day  nggak  bisa  dilepaskaitkan  dengan  pembahasan  pertarungan  peradaban Islam Vs Barat. Tapi sayang pertarungan ini nggak seimbang. Lho koq ? Iya, kalo kubu Barat diwakili  oleh  sebuah  negara,  ambil  aja  Amerika,  maka  kubu  Timur  atau  Islam,  sekarang tidak terwakili oleh satu negara pun. Kalo ini pertandingan tinju, persis pertandingan kelas bulu melawan kelas berat, atau kelas teri melawan kelas kakap. Nggak imbang banget.

Banyak analisis yang menjelaskan sebab dan faktor yang memicu terjadinya pertarungan peradaban  antara  Islam  versus  Barat  ini.  Secara  ringkas,  dapat  kita  bagi  menjadi  3  faktor utama:

1.  Faktor agama.

Sejarah  telah  mencatat  Baratlah  yang  memulai  perang  terhadap  umat  Islam  yang kemudian  lebih  dikenal  dengan  Perang  Salib  atau  Crusade.  Nggak  tanggung-tanggung sobat, Perang Salib ini terjadi selama 1 abad (1096–1192 M), yang berlangsung selama tiga tahap: antara tahun 1096–1099 M; antara tahun 1147–1149 M; dan antara tahun 1189-1192 M. Perang  fisik  yang  dilancarkan  Barat  juga  berlaku  saat  pembantaian  kaum  Muslim  oleh tentara salib di Spanyol (Andalusia) abad XV M.  Termasuk juga  serangan secara pemikiran dan  kebudayaan  (tsaqâfah)  yang  dilakukan  oleh  kaum zindiq  serta  para  misionaris  dan orientalis di masa kemunduran Islam.

Sampai  detik  ini,  ‘dendam’  Perang  Salib  ini  masih  melekat  dalam  benak  orang-orang Barat, yang kemudian menjelma menjadi ‘prasangka buruk’ (stigma) terhadap  ajaran Islam dan  umat  Islam.  Edward  Said,  dalam  bukunya  yang  berjudul,  Covering  Islam,  menulis bahwa  kecenderungan  memberikan  label  yang  bersifat  generalisasi  mengenai  Islam  dan orang Islam  (tanpa melihat kenyataan sebenarnya)  menjadi salah satu kecenderungan kuat media  Barat.  Mulai  dari  satanic  verses-nya  Salman  Rusdhie  sampe  yang  paling  mutakhir komik porno yang dirilis oleh wordpress, menjadi bukti kuat akan hal itu.

Kata  "christendom”  dan  “holy  war”  mulai  banyak  digunakan  dalam  berbagai  tulisan  di media  massa Barat, seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa sedang terjadi suatu “perang suci” antara Barat dan dunia lain di luarnya, terutama Dunia Islam. Termasuk saat Presiden Bush  mengkampanyekan  melawan  teroris  pasca  peledakan  gedung  kembar  WTC,  dia menyebutnya sebagai “crusade”.

2.  Faktor ekonomi.

Begitu  ‘mewah’nya  kekayaan  yang  dimiliki  oleh  negeri-negeri  Islam,  membuat  Barat kepincut untuk merampoknya. Niat busuk Barat ini semakin mulus, tatkala para penguasa di  negeri-negeri  muslim,  telah  berhasil  mereka  jadikan  boneka.  Sehingga  kebijakan  yang dibikin  oleh  penguasa-penguasa  muslim,  lebih  menyenangkan  Barat  daripada  melayani rakyatnya sendiri. Waduh parah nian !

Lenyapnya institusi negara Islam (Daulah Khilafah) telah melebarkan jalan bagi negara imperialis  Barat  untuk  menghisap  berbagai  kekayaan  alam  milik  umat  Islam.  Sejak  masa penjajahan  militer  era  kolonial  hingga  saat  ini,  Barat  telah  melakukan  eksploitasi  ‘besarbesaran’ atas sumberdaya alam yang dimiliki umat Islam.

Sebaliknya,  jika  Khilafah  Islam  kembali  berdiri  dan  berhasil  menyatukan  negeri-negeri Islam  sekarang,  berarti  Khilafah  Islam  akan  memegang  kendali  atas  60%  deposit  minyak seluruh dunia, boron (49%), fosfat (50%), strontium (27%), timah (22%), dan uranium yang tersebar di Dunia Islam (Zahid Ivan-Salam, dalam  Jihad and the Foreign Policy of the Khilafah State).

Secara geopolitik, negeri-negeri Islam berada di kawasan jalur laut dunia yang strategis seperti  Selat  Gibraltar,  Terusan  Suez,  Selat  Dardanella  dan  Bosphorus  yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk, dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Dengan menempati posisi strategis ini, kebutuhan dunia terutama Barat sangat besar akan wilayah kaum Muslim. Ditambah lagi dengan potensi penduduknya yang sangat  besar,  yakni  lebih  dari  1.5  miliar  dari  populasi  penduduk  dunia.  Melihat  potensi tersebut,  wajar  jika  kehadiran  Khilafah  Islam  sebagai  pengemban  ideologi  Islam  ini dianggap sebagai ‘tantangan’, atau lebih tepatnya lagi, menjadi ancaman bagi peradaban Barat saat ini.

Walhasil,  benturan  antara  kepentingan  umat  Islam  yang  ingin  mempertahankan  hak miliknya dan kepentingan negara Barat kapatalis tidak terhindarkan lagi.

3.  Faktor ideologi.

Desember 2004 lalu, National Intelelligence Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun  2020,  salah  satu  di  antaranya  adalah  akan  berdirinya  "A  New  Chaliphate",  yaitu berdirinya  kembali  Khilafah  Islam—sebuah  pemerintahan  Islam  global  yang  mampu memberikan  tantangan  terhadap  norma-norma  dan  nilai-nilai  global  Barat.  Terlepas  dari apa maksud dipublikasikannya analisis ini, paling tidak, kembalinya negara Khilafah Islam menurut  kalangan  analisis  dan  intelijen  Barat  termasuk  hal  yang  harus  diperhitungkan. Pertanyaannya,  mengapa  harus  Khilafah?  Jawabannya,  karena  potensi  utama  dari  negara Khilafah  adalah  ideologi  yang  diembannya.  Khilafah  Islam  adalah  negara  global  yang dipimpin  oleh  seorang  khalifah  dengan  asas  ideologi  Islam.  Ideologi  Islam  ini  pula  yang pernah menyatukan umat Islam seluruh dunia mulai dari jazirah Arab, Afrika, Asia, sampai Eropa. Islam mampu melebur berbagai bangsa, warna kulit, suku, ras, dan latar belakang agama yang berbeda. Kelak, Khilafahlah yang ‘bertanggung jawab’ untuk mengemban dan menyebarkan ideologi Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Tentu  saja  Barat,  dengan  ideologi  Kapitalismenya  yang  masih  dominan  saat  ini,  tidak akan  berdiam  diri.  Berbagai  upaya  akan  dilakukan  Barat  untuk  menggagalkan  skenario ketiga  ini  (kembalinya  Khilafah).  Secara  pemikiran  Barat  akan  membangun  opini  negatif tentang  Khilafah  Islam.  Diopinikan  bahwa  kembali  pada  Khilafah  adalah  sebuah kemunduran,  kembali  ke  zaman  batu  yang  tidak  berperadaban  dan  berprikemanusiaan. Sebaliknya, upaya penyebaran ide-ide Barat akan lebih digencarkan, seperti demokratisasi yang dilakukan di Timur Tengah saat ini.

Dan  karena  pertarungan  saat  ini  dimenangi  oleh  Barat,  maka  sangat  benar  perkataan Ibnu  Khaldun  yang  mengatakan  “Yang  kalah  cenderung  mengekor  yang  menang  dari  segi pakaian,  kendaraan,  bentuk  senjata  yang  dipakai,  malah  meniru  dalam  setiap  cara  hidup  mereka”. Coba  kamu  perhatikan  sekarang  peradaban  Barat  telah  menjadi  “imam”  bagi  peradaban lain, sementara peradaban Islam menjadi “bebek”.

Trus  gimana  supaya  seimbang?  Gampang  banget,  kita  kudu  punya  negara  yang  kuat yang bisa melawan peradaban Barat.  “Wah gitu ya, apa nggak ada cara lain? Soalnya kalo udah bicara negara kayaknya harus bicara politik. Padahal politik itu khan kotor sementara Islam  itu suci, kalo suci dicampur kotor jadinya akan ikut kotor. Apa nggak dicoba dengan cara lain, dengan jalur pembiasaan atau pembudayaan Islam gitu?”

Begini sobat, apa yang kamu khawatirkan kalo politik itu kotor, itu hanya penampakan di permukaan aja. Kalo yang kamu lihat dari praktik politikus kita dengan berbagai caranya mensiasati (baca:  membohongi)  rakyat,  maka  itu  adalah  praktik  yang  salah. Perlu  dicatat, bahwa praktik yang salah belum tentu membuktikan teorinya juga salah. Sebenarnya Islam sendiri—sekali  lagi-  nggak  bisa  dipisahkan  dari  politik  (pemerintahan).  Itu  juga  yang diperintahkan sekaligus dicontohkan oleh tauladan kita, Rasulullah Saw.

Upaya  membangkitkan  Islam  atau  melawan  Barat  lewat  jalur  budaya,  udah  terbukti kemandulannya.  Malahan  seperti  apa  yang  dibilang  oleh  teman-teman  kita  tadi  bahwa ternyata ada upaya konversi alias pengawinan antara budaya kufur dengan budaya Islam. Bisa jadi, kita malah mengambil sikap untuk berkompromi dengan budaya asing, yang jelasjelas bertentangan dengan Islam.

“Berarti  kita  kudu  punya  negara  seperti  Rasul?”  Ya,  emang  itu  yang  dicontohkan  dan sekaligus itu yang diwajibkan. Karena sekali lagi, untuk bisa melawan Barat, negara harus dilawan dengan negara.

Kalo  nggak?  Ya  seperti  yang  kita  lihat  sekarang,  negeri-negeri  Islam  terpecah-pecah setelah  negara  (Daulah  Islamiyah)  itu  nggak  ada.  Barat  dengan  mudah  mencabik-cabik negeri-negeri  Islam,  sementara  negeri  Islam  yang  lain  nggak  berani  melawan  penjajahan Barat.

Sekat  kenegaraan  yang  sudah  dibikin  oleh  Barat,  telah  jitu  bikin  negara-negara  itu berpikir  nafsi-nafsi.  Asal  kamu  tahu  aja  sobat,  sekedar  informasi  bahwa  Barat  terus melakukan penjajahan pasca Daulah Islamiyah itu runtuh, diantaranya:

(1).  Setelah  keruntuhan  Daulah  Islamiyyah,  mereka  mengerat-erat  negeri  Daulah Islamiyyah ke dalam banyak institusi, seperti Turki, Cyprus, Irak, Suriah, Pakistan dan lainlain.

(2).  Mereka  terus  menyerang  bahasa  Arab.  Mereka  menjadikan  bahasa  mereka  untuk meminggirkan bahasa Arab di negeri-negeri Islam. Mereka juga mendorong  digunakannya dialek-dialek pasar (bahasa pasaran)

(3).  Mereka  mencekoki  kita  dengan  sebuah  klim  bahwa  mereka  telah  bangkit berlandaskan nasionalisme. Mereka mempopulerkan banyak partai nasionalis dan patriotis, yang semua itu dilakukan demi menjauhkan kita dari Islam.

(4). Mereka menganologikan Islam dengan Nasrani, seraya mengatakan bahwa jika kita menginginkan  sebuah  kebangkitan,  maka  kita  harus  memisahkan  agama  dari  kehidupan sebagaimana yang telah mereka lakukan.

(5).  Mereka  mengubah  sistem  pemerintahan  di  negeri-negeri  Islam  dari  sistem pemerintahan Islam menjadi sistem pemerintahan kapitalistik.

(6).  Mereka  menciptakan  jurang  pemisah  diantara  negeri-negeri  yang  baru  terbentuk (pecahan  dari  Daulah  Islamiyyah)  untuk  memecahbelah  antar  sesama  putra-putri  umat Islam,  disamping  untuk  memperdalam  jurang  pemisah  yang  terdapat  di  antara  berbagai institusi  yang  baru  muncul  itu.  Mereka  memunculkan  isu-isu  seperti  masalah  tapal  batas negara,  semangat  nasionalisme,  dan  kesukuan,  seperti  munculnya  masalah  Kashmir, Cyprus, Palestina, Sahara di Maroko, dan Tepi Barat.

(7). Mengeksploitasi kekayaan kaum muslimin untuk kepentingan Barat, seperti minyak dan barang tambang.

(8) Menjadikan dunia Islam sebagai pasar konsumtif bagi Barat dan mencegah berdirinya industri-industri produksi dan industri-industri berat.

(9).  Barat  memaksakan  kebudayaan  mereka  kepada  Umat  Islam,  dengan  memasukkan kebudayaan-kebudayaan  tersebut  ke  dalam  kurikulum  pendidikan  dan  berbagai  media informasi seperti radio, surat kabar dan majalah.

Karena  kehancuran  peradaban  Islam  telah  menimbulkan  kerugian  demikian  besar  bagi umat  Islam  bahkan  umat  manusia.  Maka  sangat  wajar  harus  ada  upaya  untuk mengembalikan  peradaban  Islam  itu  berjaya  kembali.  Dan  upaya  itu  nggak  akan  pernah berhasil jika tidak ada negara yang membawa peradaban itu.

Hubungan erat peradaban dengan eksistensi negara ini dapat dibuktikan dari panggung sejarah  umat  manusia.  Dapat  kita  ketahui  bahwa  nggak  satu  pun  peradaban  dapat  eksis secara  sempurna  kecuali  bila  ia  ditegakkan  oleh  satu  atau  beberapa  negara  yang mendukungnya.  Peradaban  Barat  nggak  bisa  dibayangkan  dapat  menjadi  raksasa  seperti sekarang  ini  kalo  nggak  ada  negara-negara  pendukungnya  seperti  Amerika  Serikat  dan negara-negara  Eropa  Barat  seperti  Inggris,  Perancis,  dan  lain-lain.  Nah,  demikian  juga peradaban Islam nggak akan bisa tegak sempurna kecuali didukung oleh Daulah Islamiyah yang telah eksis sekitar 13 abad lamanya, sejak hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (622 M) hingga hancurnya Khilafah Utsmaniyah di Turki (1924 M).

Satu hal yang perlu jadi catatan adalah, hubungan antara pandangan hidup –unsur dasar peradaban—  dengan negara adalah bersifat unik.  Artinya, hubungan  ini bisa digambarkan seperti  hubungan  “isi”  dengan  “wadah”.  Memang  benar  bahwa  “isi”  membutuhkan “wadah”,  tapi  nggak  sembarang  “wadah”.  Jadi,  “wadah”  yang  dibutuhkan  oleh  “isi” haruslah  “wadah”  tertentu.  Karena  dengan  kurang  pas-nya  antara  “isi”  dengan  “wadah” maka  akan  berpengaruh  secara  signifikan  pada  “isi”. Sehingga  kalo  terjadi  kasus  salah kamar, yakni “isi” diletakkan dalam “wadah” yang nggak kondusif baginya, maka “isi” itu tidak akan berguna secara siginifikan.

Riilnya begini sobat. Pandangan hidup Barat yang sekularistik  (isi), misalnya,  hanya  bisatumbuh  subur  dalam  negara  yang  cocok  baginya,  yakni  negara  sekuler  (wadah)  seperti yang ada saat ini, yang memisahkan urusan agama dari urusan politik. Nggak akan pernah cocok  sekulerisme  (isi),  diletakkan  dalam  wadah  negara  Islam  (Daulah  Islamiyah)  yang akan menerapkan Islam secara total pada segala aspek kehidupan.

Ide  kebebasan  bertingkah laku misalnya, yang jadi andalan ide sekularisme hanya  akan dapat ‘jatah’  dalam negara sekuler yang membolehkan manusia berbuat sesukanya asalkan nggak  melanggar kebebasan orang lain. Sebaliknya paham ini nggak cucok dan nggak bisa tumbuh  dan  berkembang  dalam  negara  Islam  yang  mewajibkan  rakyatnya  untuk  terikat dengan hukum-hukum syariat. Ide nasionalisme akan  bisa  diterapkan secara leluasa dalam wadah  negara  berbasis  kebangsaan  seperti  yang  ada  sekarang.  Sebaliknya  ide  ini  akan mustahil terlaksana dalam negara Islam yang yang mewajibkan umat Islam seluruh dunia untuk hidup bersatu dalam sebuah negara.

Demikian pula pandangan hidup Islam. Pandangan hidup Islam (bahan dasar peradaban Islam) nggak akan terwujud secara  kaafah  dan menjelma menjadi sebagai sebuah peradaban kalo  “diletakkan”  dalam  sebuah  negara  sekularistik  seperti  sekarang  ini.  Misalnya, penerapan hukum Islam secara menyeluruh jelas mustahil terwujud  kalo wadahnya negara sekuler, yang memisahkan agama dari urusan kehidupan.

Penerapan haramnya riba  hanya akan jadi omong kosong, jika wadahnya  dalam sebuah negara  sekuler  yang  menerapkan  sistem  ekonomi  kapitalisme  yang  mutlak  ribawi. Penerapan  haramnya  khamr  dan  zina  juga  menjadi  omong  kosong  belaka  dalam  negara sekuler yang mengagung-agungkan kebebasan kepemilikan dan kebebasan individu. 

Inilah yang kita sebut dengan hubungan unik. Jadi memang nggak sembarangan wadah bisa  mewadahi  Islam,  demikian  pula  sebaliknya  dengan  sekularisme.  Jika  kita  mewadahi pandangan  hidup  Islam  dengan  wadah  sekular,  nggak  akan  pernah  cocok.  Malahan,  kita bingung  menyebutnya,  negara  Islam  bukan,  negara  sekular  kayaknya  juga  bukan.  Apa negara bukan-bukan, ya?

Maka,  pandangan  hidup  Islam  baru  akan  sempurna  terwujud  dan  menjelma  menjadi peradaban  Islam  kalo  ada  sebuah  negara  yang  kondusif  bagi  keberadaan  dan kelestariannya.  Itulah  negara  yang  dalam  khazanah  fiqih  siyasah  disebut  dengan  Khilafah atau  Imamah  yang  kewajibannya  secara  syar’i  telah  disepakati  oleh  para  imam  dan mujtahidin  terpercaya.  Syaikh Abdurrahman Al Jaziri  menegaskan hal ini dalam kitabnya  Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416 :

“Para  imam  madzhab  (Abu  Hanifah,  Malik,  Syafi‘i,  dan  Ahmad)  --rahimahumullah--  telah sepakat  bahwa  Imamah  (Khilafah)  itu  wajib  adanya,  dan  bahwa  ummat  Islam  wajib  mempunyai seorang  imam  (khalifah,)  yang  akan  meninggikan  syiar-syiar  agama  serta  menolong  orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya...”

Nggak  cuman  kalangan  empat  madzhab  dalam  Ahlus  Sunnah  aja  yang  mewajibkan Khilafah,  bahkan  seluruh  kalangan  Ahlus  Sunnah  dan  Syiah  termasuk  Khawarij  dan Mu’tazilah tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah.

Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 mengatakan :
"Menurut golongan Syi'ah, mayoritas Mu'tazilah dan Asy'ariyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara'."

Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa' Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan :
“Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji'ah, seluruh Syi'ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)…”

Sekali lagi, peradaban Islam tidak akan dapat tegak sempurna tanpa adanya negara yang cocok  baginya,  yaitu  negara  Khilafah.  Dengan  negara  itu  pulalah  kita  bisa  melawan peradaban Barat secara sempurna.  Karena itu upaya untuk menuju peradaban Islam yang gemilang nggak ada cara lain kecuali dengan mewujudkan negara Khilafah Islamiyah.

Butuh  waktu  dan  media  khusus  memang  untuk  membahasa  detail  tentang  Khilafah Islamiyah.  Tapi  paling  nggak  sebelumnya  tadi  udah  dijelaskan  sedikit  tentang  apa  itu Khilafah. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia. Jadi kaum  muslimin  kudu  punya  satu  pemimpin  yang  akan  menyatukan  negeri-negeri  kaum muslimin yang sekarang terpecah menjadi 56 negara lebih. Dengan satu pemimpin itulah, Islam  akan  bisa  melawan  Barat,  seperti  yang  pernah  tertoreh  dalam  sejarah  berabad-abad lamanya.

Mungkin  ada  yang  berpikir  “mimpi  kali  ye”  bisa  menyatukan  umat  muslim  seluruh dunia,  lha  wong  para  pemimpinnya  aja  udah  jadi  antek-antek  orang  Barat.  Sobat,  kita nyadar  banget  bahwa  ini  bukan  pekerjaan  yang  gampang  dan  kita  maklumi  kalo  kamu bilang begitu, karena kita yakin, kamu bilang seperti itu, karena kamu belum paham aja.

Maka  dari  itu,  perjuangan  untuk  mengembalikan  kehidupan  Islam  dengan  berdirinya Khilafah  ini  harus  diawali  terlebih  dahulu  dengan  upaya  penyadaran  umat,  agar pemahaman umat terhadap pandangan hidup Islam mantap dan sempurna. Hingga umat bisa  berpikir  secara  jernih  bahwa  nggak  ada  pilihan  lain  kecuali  adalah  Islam.  Tanpa pemahaman  akan  Islam,  negara  Khilafah  hanya  akan  menjadi  “wadah”  tanpa  “isi”,  atau “jasad”  tanpa  “ruh”.  Setelah  penyadaran  umat,  langkah  berikutnya  adalah  melakukan upaya-upaya politik konkret guna mendirikan Khilafah Islamiyah.

Dengan berdirinya Khilafah Islamiyah  --Insya Allah--  maka peradaban Islam akan dapat tegak  sekali  lagi  memimpin  dunia  untuk  menyebarkan  rahmat  bagi  seluruh  alam.  Dan dengan sendirinya, akan musnahlah peradaban Barat yang telah gagal itu, yang selama ini tidak  pernah  menyebarkan  rahmat  bagi  seluruh  alam,  melainkan  menyebarkan  azab  dan derita bagi seluruh alam.


Dengan  Khilafah,  peradaban  Barat  akan  menemui  lawan  yang  seimbang.  Sehingga Amerika  dan  kroni-kroninya  nggak  akan  berkutik  dan  nggak  berani  lagi  menyebarkan ajaran sesat V-Day ke negeri-negeri Islam. Di sisi lain, upaya memberangus budaya V-Day di  negeri-negeri  kaum  muslimin  sendiri,  jadi  lebih  efektif,  mudah  dan  tentu  aja  totalitas bersihnya. Allahu Akhbar !


Semoga Bermanfaat..

klik: lukyrouf.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar