V-Day, Negara Kudu
Ikut Campur
Oleh : Luky B
Rouf
•Creative Writer
•Inspirator #YukMoveOn | Pengkader Pendakwah Ideologis
•Publishing Manager Al Azhar Press
•Kontributor Tabloid Mediua Umat, dakwahremaja.com
•Owner D’Walimah Organizer Pernikahan Islami
“Wah, nggak nyangka lho kalo V-Day jadi urusan negara, kayak
masalah politik aja !” Tapi suer prend,
dalam urusan V-Day ini musti jadi urusan negara juga. Koq bisa? Ya, soalnya
V-day udah melibatkan banyak
orang (baca: masyarakat)
dan di sisi
lain karena emang
Islam bukan ajaran sekular,
yang memisahkan agama
untuk mengatur kehidupan.
Untuk itu menuntaskan masalah
V-Day, negara memang kudu ikut campur tangan. Setuju !?
Selama ini memang sudah ada beberapa pihak yang melarang
V-Day seperti Pemerintah Kota Bukittinggi yang melarang remaja merayakan
Valentin Day 14 Februari. Bagi remaja yang
terlihat merayakan bisa
dianggap melanggar Peraturan
Daerah tentang Pemberantasan Maksiat.
Pemerintah akan mengerahkan
100 satuan polisi
pamong praja merazia hotel serta
menangkap remaja yang berduaan di jalan.
Wakil Wali Kota Bukittinggi Ismet
Amzis, Rabu (13/2)
mengatakan, alasan melarang
perayaan Hari Valentin
sematamata karena dianggap tidak sesuai adat istiadat Minagkabau dan
agama Islam. "Itu bukan budaya kita, dan Valentin Day ini dekat dengan
maksiat, maaf saja, di acara ini biasanya ada yang berpelukan, berciuman, itu
kan maksiat," katanya.
Pemerintah Kota Bukittinggi
telah menghimbau sekolah-sekolah untuk
mengerahkan siswanya ke masjid
dan musola pada
Kamis (14/2). "Kami
juga telah meminta
kepada seluruh pengurus masjid dan musola agar pada malam Valentin Day
mengisi acara dengan ceramah agama untuk remaja," katanya. (Rabu, 13
Februari 2008, Tempo Interaktif).
Ini membuktikan bahwa
pihak-pihak yang mewakili
negara tersebut sebenarnya
udah ikut care. Sekaligus
ini bukti yang
nggak bisa dipungkiri
bahwa untuk melarang
V-Day, memang butuh campur tangan penguasa. Namun sikap care
itu nggak berlanjut ke tingkat yang lebih
atas alias yang
punya wewenang atas
kebijakan yang berlaku
di masyarakat, alias negara.
Sehingga larangan dari berbagai pihak tadi lebih mirip sebagai singa ompong, galak
di aturannya, tapi mlempem di penerapannya.
Tapi kalo emang
negara ikut campur
ngurusin V-Day, kenapa
juga bukti aturan
itu nggak bisa menyelesaikan masalah? Seperti di Arab Saudi, umat Islam
di sana diharamkan untuk
memperingatinya karena dianggap
sebagai perayaan kaum
Kristen yang penuh kekufuran. Atau di bukit tinggi, padang
panjang, sumatera juga dilarang.
Sobat, seperti udah
disebutkan di awal-awal
pembahasan ini, bahwa
pembahasan tentang V-Day nggak
bisa dilepaskaitkan dengan
pembahasan pertarungan peradaban Islam Vs Barat. Tapi sayang
pertarungan ini nggak seimbang. Lho koq ? Iya, kalo kubu Barat diwakili oleh
sebuah negara, ambil
aja Amerika, maka
kubu Timur atau
Islam, sekarang tidak terwakili
oleh satu negara pun. Kalo ini pertandingan tinju, persis pertandingan kelas bulu
melawan kelas berat, atau kelas teri melawan kelas kakap. Nggak imbang banget.
Banyak analisis yang menjelaskan sebab dan faktor yang
memicu terjadinya pertarungan peradaban
antara Islam versus
Barat ini. Secara
ringkas, dapat kita
bagi menjadi 3
faktor utama:
1. Faktor agama.
Sejarah telah mencatat
Baratlah yang memulai
perang terhadap umat
Islam yang kemudian lebih
dikenal dengan Perang
Salib atau Crusade.
Nggak tanggung-tanggung sobat,
Perang Salib ini terjadi selama 1 abad (1096–1192 M), yang berlangsung selama
tiga tahap: antara tahun 1096–1099 M; antara tahun 1147–1149 M; dan antara
tahun 1189-1192 M. Perang fisik yang
dilancarkan Barat juga
berlaku saat pembantaian
kaum Muslim oleh tentara salib di Spanyol (Andalusia)
abad XV M. Termasuk juga serangan secara pemikiran dan kebudayaan
(tsaqâfah) yang dilakukan
oleh kaum zindiq serta
para misionaris dan orientalis di masa kemunduran Islam.
Sampai detik ini,
‘dendam’ Perang Salib
ini masih melekat
dalam benak orang-orang Barat, yang kemudian menjelma
menjadi ‘prasangka buruk’ (stigma) terhadap
ajaran Islam dan umat Islam.
Edward Said, dalam
bukunya yang berjudul,
Covering Islam, menulis bahwa
kecenderungan memberikan label
yang bersifat generalisasi
mengenai Islam dan orang Islam (tanpa melihat kenyataan sebenarnya) menjadi salah satu kecenderungan kuat media Barat.
Mulai dari satanic
verses-nya Salman Rusdhie
sampe yang paling
mutakhir komik porno yang dirilis oleh wordpress, menjadi bukti kuat akan
hal itu.
Kata
"christendom” dan “holy
war” mulai banyak
digunakan dalam berbagai
tulisan di media massa Barat, seolah-olah ingin memperlihatkan
bahwa sedang terjadi suatu “perang suci” antara Barat dan dunia lain di
luarnya, terutama Dunia Islam. Termasuk saat Presiden Bush mengkampanyekan melawan
teroris pasca peledakan
gedung kembar WTC,
dia menyebutnya sebagai “crusade”.
2. Faktor ekonomi.
Begitu
‘mewah’nya kekayaan yang
dimiliki oleh negeri-negeri
Islam, membuat Barat kepincut untuk merampoknya. Niat busuk
Barat ini semakin mulus, tatkala para penguasa di negeri-negeri
muslim, telah berhasil
mereka jadikan boneka.
Sehingga kebijakan yang dibikin
oleh penguasa-penguasa muslim,
lebih menyenangkan Barat
daripada melayani rakyatnya
sendiri. Waduh parah nian !
Lenyapnya institusi negara Islam (Daulah Khilafah) telah
melebarkan jalan bagi negara imperialis
Barat untuk menghisap
berbagai kekayaan alam
milik umat Islam.
Sejak masa penjajahan militer
era kolonial hingga
saat ini, Barat
telah melakukan eksploitasi
‘besarbesaran’ atas sumberdaya alam yang dimiliki umat Islam.
Sebaliknya, jika Khilafah
Islam kembali berdiri
dan berhasil menyatukan
negeri-negeri Islam
sekarang, berarti Khilafah
Islam akan memegang
kendali atas 60%
deposit minyak seluruh dunia,
boron (49%), fosfat (50%), strontium (27%), timah (22%), dan uranium yang tersebar
di Dunia Islam (Zahid Ivan-Salam, dalam
Jihad and the Foreign Policy of the Khilafah State).
Secara geopolitik, negeri-negeri Islam berada di kawasan
jalur laut dunia yang strategis seperti
Selat Gibraltar, Terusan
Suez, Selat Dardanella
dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke
Mediterania, Selat Hormuz di Teluk, dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Dengan
menempati posisi strategis ini, kebutuhan dunia terutama Barat sangat besar
akan wilayah kaum Muslim. Ditambah lagi dengan potensi penduduknya yang sangat besar,
yakni lebih dari
1.5 miliar dari
populasi penduduk dunia.
Melihat potensi tersebut, wajar
jika kehadiran Khilafah
Islam sebagai pengemban
ideologi Islam ini dianggap sebagai ‘tantangan’, atau lebih
tepatnya lagi, menjadi ancaman bagi peradaban Barat saat ini.
Walhasil,
benturan antara kepentingan
umat Islam yang
ingin mempertahankan hak miliknya dan kepentingan negara Barat
kapatalis tidak terhindarkan lagi.
3. Faktor ideologi.
Desember 2004 lalu, National Intelelligence Council’s (NIC)
merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”. Dalam
laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020,
salah satu di
antaranya adalah akan
berdirinya "A New
Chaliphate", yaitu berdirinya kembali
Khilafah Islam—sebuah pemerintahan
Islam global yang
mampu memberikan tantangan terhadap
norma-norma dan nilai-nilai
global Barat. Terlepas
dari apa maksud dipublikasikannya analisis ini, paling tidak, kembalinya
negara Khilafah Islam menurut
kalangan analisis dan
intelijen Barat termasuk
hal yang harus
diperhitungkan. Pertanyaannya,
mengapa harus Khilafah?
Jawabannya, karena potensi
utama dari negara Khilafah adalah
ideologi yang diembannya.
Khilafah Islam adalah
negara global yang dipimpin
oleh seorang khalifah
dengan asas ideologi
Islam. Ideologi Islam
ini pula yang pernah menyatukan umat Islam seluruh
dunia mulai dari jazirah Arab, Afrika, Asia, sampai Eropa. Islam mampu melebur
berbagai bangsa, warna kulit, suku, ras, dan latar belakang agama yang berbeda.
Kelak, Khilafahlah yang ‘bertanggung jawab’ untuk mengemban dan menyebarkan
ideologi Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Tentu saja Barat,
dengan ideologi Kapitalismenya yang
masih dominan saat
ini, tidak akan berdiam
diri. Berbagai upaya
akan dilakukan Barat
untuk menggagalkan skenario ketiga ini
(kembalinya Khilafah). Secara
pemikiran Barat akan
membangun opini negatif tentang Khilafah
Islam. Diopinikan bahwa
kembali pada Khilafah
adalah sebuah kemunduran, kembali
ke zaman batu
yang tidak berperadaban
dan berprikemanusiaan. Sebaliknya,
upaya penyebaran ide-ide Barat akan lebih digencarkan, seperti demokratisasi yang
dilakukan di Timur Tengah saat ini.
Dan karena pertarungan
saat ini dimenangi
oleh Barat, maka
sangat benar perkataan Ibnu Khaldun
yang mengatakan “Yang
kalah cenderung mengekor
yang menang dari
segi pakaian, kendaraan, bentuk
senjata yang dipakai,
malah meniru dalam
setiap cara hidup
mereka”. Coba kamu perhatikan
sekarang peradaban Barat
telah menjadi “imam”
bagi peradaban lain, sementara
peradaban Islam menjadi “bebek”.
Trus gimana supaya
seimbang? Gampang banget,
kita kudu punya
negara yang kuat yang bisa melawan peradaban Barat. “Wah gitu ya, apa nggak ada cara lain?
Soalnya kalo udah bicara negara kayaknya harus bicara politik. Padahal politik
itu khan kotor sementara Islam itu suci,
kalo suci dicampur kotor jadinya akan ikut kotor. Apa nggak dicoba dengan cara
lain, dengan jalur pembiasaan atau pembudayaan Islam gitu?”
Begini sobat, apa yang kamu khawatirkan kalo politik itu
kotor, itu hanya penampakan di permukaan aja. Kalo yang kamu lihat dari praktik
politikus kita dengan berbagai caranya mensiasati (baca: membohongi)
rakyat, maka itu
adalah praktik yang
salah. Perlu dicatat, bahwa
praktik yang salah belum tentu membuktikan teorinya juga salah. Sebenarnya
Islam sendiri—sekali lagi- nggak
bisa dipisahkan dari
politik (pemerintahan). Itu
juga yang diperintahkan sekaligus
dicontohkan oleh tauladan kita, Rasulullah Saw.
Upaya
membangkitkan Islam atau
melawan Barat lewat
jalur budaya, udah
terbukti kemandulannya.
Malahan seperti apa
yang dibilang oleh
teman-teman kita tadi
bahwa ternyata ada upaya konversi alias pengawinan antara budaya kufur
dengan budaya Islam. Bisa jadi, kita malah mengambil sikap untuk berkompromi
dengan budaya asing, yang jelasjelas bertentangan dengan Islam.
“Berarti kita kudu
punya negara seperti
Rasul?” Ya, emang
itu yang dicontohkan
dan sekaligus itu yang diwajibkan. Karena sekali lagi, untuk bisa
melawan Barat, negara harus dilawan dengan negara.
Kalo nggak? Ya
seperti yang kita
lihat sekarang, negeri-negeri
Islam terpecah-pecah setelah negara
(Daulah Islamiyah) itu
nggak ada. Barat
dengan mudah mencabik-cabik negeri-negeri Islam,
sementara negeri Islam
yang lain nggak
berani melawan penjajahan Barat.
Sekat kenegaraan yang
sudah dibikin oleh
Barat, telah jitu
bikin negara-negara itu berpikir
nafsi-nafsi. Asal kamu
tahu aja sobat,
sekedar informasi bahwa
Barat terus melakukan penjajahan
pasca Daulah Islamiyah itu runtuh, diantaranya:
(1). Setelah keruntuhan
Daulah Islamiyyah, mereka
mengerat-erat negeri Daulah Islamiyyah ke dalam banyak institusi,
seperti Turki, Cyprus, Irak, Suriah, Pakistan dan lainlain.
(2). Mereka terus
menyerang bahasa Arab.
Mereka menjadikan bahasa
mereka untuk meminggirkan bahasa
Arab di negeri-negeri Islam. Mereka juga mendorong digunakannya dialek-dialek pasar (bahasa
pasaran)
(3). Mereka mencekoki
kita dengan sebuah
klim bahwa mereka
telah bangkit berlandaskan
nasionalisme. Mereka mempopulerkan banyak partai nasionalis dan patriotis, yang
semua itu dilakukan demi menjauhkan kita dari Islam.
(4). Mereka menganologikan Islam dengan Nasrani, seraya
mengatakan bahwa jika kita menginginkan
sebuah kebangkitan, maka
kita harus memisahkan
agama dari kehidupan sebagaimana yang telah mereka
lakukan.
(5). Mereka mengubah
sistem pemerintahan di
negeri-negeri Islam dari
sistem pemerintahan Islam menjadi sistem pemerintahan kapitalistik.
(6). Mereka menciptakan
jurang pemisah diantara
negeri-negeri yang baru
terbentuk (pecahan dari Daulah
Islamiyyah) untuk memecahbelah
antar sesama putra-putri
umat Islam, disamping untuk
memperdalam jurang pemisah
yang terdapat di
antara berbagai institusi yang
baru muncul itu.
Mereka memunculkan isu-isu
seperti masalah tapal
batas negara, semangat nasionalisme,
dan kesukuan, seperti
munculnya masalah Kashmir, Cyprus, Palestina, Sahara di Maroko,
dan Tepi Barat.
(7). Mengeksploitasi kekayaan kaum muslimin untuk
kepentingan Barat, seperti minyak dan barang tambang.
(8) Menjadikan dunia Islam sebagai pasar konsumtif bagi
Barat dan mencegah berdirinya industri-industri produksi dan industri-industri
berat.
(9). Barat memaksakan
kebudayaan mereka kepada
Umat Islam, dengan
memasukkan kebudayaan-kebudayaan
tersebut ke dalam
kurikulum pendidikan dan
berbagai media informasi seperti
radio, surat kabar dan majalah.
Karena
kehancuran peradaban Islam
telah menimbulkan kerugian
demikian besar bagi umat
Islam bahkan umat
manusia. Maka sangat
wajar harus ada
upaya untuk mengembalikan peradaban
Islam itu berjaya
kembali. Dan upaya
itu nggak akan
pernah berhasil jika tidak ada negara yang membawa peradaban itu.
Hubungan erat peradaban dengan eksistensi negara ini dapat
dibuktikan dari panggung sejarah
umat manusia. Dapat
kita ketahui bahwa
nggak satu pun
peradaban dapat eksis secara
sempurna kecuali bila
ia ditegakkan oleh
satu atau beberapa
negara yang mendukungnya. Peradaban
Barat nggak bisa dibayangkan dapat
menjadi raksasa seperti sekarang ini
kalo nggak ada
negara-negara pendukungnya seperti
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa
Barat seperti Inggris,
Perancis, dan lain-lain.
Nah, demikian juga peradaban Islam nggak akan bisa tegak
sempurna kecuali didukung oleh Daulah Islamiyah yang telah eksis sekitar 13
abad lamanya, sejak hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (622 M) hingga
hancurnya Khilafah Utsmaniyah di Turki (1924 M).
Satu hal yang perlu jadi catatan adalah, hubungan antara
pandangan hidup –unsur dasar peradaban—
dengan negara adalah bersifat unik.
Artinya, hubungan ini bisa
digambarkan seperti hubungan “isi”
dengan “wadah”. Memang
benar bahwa “isi”
membutuhkan “wadah”, tapi nggak
sembarang “wadah”. Jadi,
“wadah” yang dibutuhkan
oleh “isi” haruslah “wadah”
tertentu. Karena dengan
kurang pas-nya antara
“isi” dengan “wadah” maka
akan berpengaruh secara
signifikan pada “isi”. Sehingga kalo
terjadi kasus salah kamar, yakni “isi” diletakkan dalam
“wadah” yang nggak kondusif baginya, maka “isi” itu tidak akan berguna secara
siginifikan.
Riilnya begini sobat. Pandangan hidup Barat yang
sekularistik (isi), misalnya, hanya
bisatumbuh subur dalam
negara yang cocok
baginya, yakni negara
sekuler (wadah) seperti yang ada saat ini, yang memisahkan
urusan agama dari urusan politik. Nggak akan pernah cocok sekulerisme
(isi), diletakkan dalam
wadah negara Islam
(Daulah Islamiyah) yang akan menerapkan Islam secara total pada
segala aspek kehidupan.
Ide kebebasan bertingkah laku misalnya, yang jadi andalan
ide sekularisme hanya akan dapat
‘jatah’ dalam negara sekuler yang
membolehkan manusia berbuat sesukanya asalkan nggak melanggar kebebasan orang lain. Sebaliknya
paham ini nggak cucok dan nggak bisa tumbuh
dan berkembang dalam
negara Islam yang
mewajibkan rakyatnya untuk
terikat dengan hukum-hukum syariat. Ide nasionalisme akan bisa
diterapkan secara leluasa dalam wadah
negara berbasis kebangsaan
seperti yang ada
sekarang. Sebaliknya ide
ini akan mustahil terlaksana
dalam negara Islam yang yang mewajibkan umat Islam seluruh dunia untuk hidup
bersatu dalam sebuah negara.
Demikian pula pandangan hidup Islam. Pandangan hidup Islam
(bahan dasar peradaban Islam) nggak akan terwujud secara kaafah
dan menjelma menjadi sebagai sebuah peradaban kalo “diletakkan”
dalam sebuah negara
sekularistik seperti sekarang
ini. Misalnya, penerapan hukum
Islam secara menyeluruh jelas mustahil terwujud
kalo wadahnya negara sekuler, yang memisahkan agama dari urusan
kehidupan.
Penerapan haramnya riba
hanya akan jadi omong kosong, jika wadahnya dalam sebuah negara sekuler
yang menerapkan sistem
ekonomi kapitalisme yang
mutlak ribawi. Penerapan haramnya
khamr dan zina
juga menjadi omong
kosong belaka dalam
negara sekuler yang mengagung-agungkan kebebasan kepemilikan dan
kebebasan individu.
Inilah yang kita sebut dengan hubungan unik. Jadi memang
nggak sembarangan wadah bisa
mewadahi Islam, demikian
pula sebaliknya dengan
sekularisme. Jika kita
mewadahi pandangan hidup Islam
dengan wadah sekular,
nggak akan pernah
cocok. Malahan, kita bingung
menyebutnya, negara Islam
bukan, negara sekular
kayaknya juga bukan.
Apa negara bukan-bukan, ya?
Maka, pandangan hidup
Islam baru akan
sempurna terwujud dan
menjelma menjadi peradaban Islam
kalo ada sebuah
negara yang kondusif
bagi keberadaan dan kelestariannya. Itulah
negara yang dalam
khazanah fiqih siyasah
disebut dengan Khilafah atau
Imamah yang kewajibannya
secara syar’i telah
disepakati oleh para
imam dan mujtahidin terpercaya.
Syaikh Abdurrahman Al Jaziri
menegaskan hal ini dalam kitabnya
Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416 :
“Para imam madzhab
(Abu Hanifah, Malik,
Syafi‘i, dan Ahmad)
--rahimahumullah-- telah sepakat bahwa
Imamah (Khilafah) itu
wajib adanya, dan
bahwa ummat Islam
wajib mempunyai seorang imam
(khalifah,) yang akan
meninggikan syiar-syiar agama
serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang
menindasnya...”
Nggak cuman kalangan
empat madzhab dalam
Ahlus Sunnah aja
yang mewajibkan Khilafah, bahkan
seluruh kalangan Ahlus
Sunnah dan Syiah termasuk Khawarij dan Mu’tazilah tanpa
kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265
mengatakan :
"Menurut golongan Syi'ah, mayoritas Mu'tazilah dan
Asy'ariyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara'."
Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa' Wan Nihal juz 4
hal. 87 mengatakan :
“Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji'ah,
seluruh Syi'ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)…”
Sekali lagi, peradaban Islam tidak akan dapat tegak sempurna
tanpa adanya negara yang cocok
baginya, yaitu negara
Khilafah. Dengan negara
itu pulalah kita
bisa melawan peradaban Barat
secara sempurna. Karena itu upaya untuk
menuju peradaban Islam yang gemilang nggak ada cara lain kecuali dengan
mewujudkan negara Khilafah Islamiyah.
Butuh waktu dan
media khusus memang
untuk membahasa detail
tentang Khilafah Islamiyah. Tapi
paling nggak sebelumnya
tadi udah dijelaskan
sedikit tentang apa
itu Khilafah. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum
muslimin di dunia. Jadi kaum
muslimin kudu punya
satu pemimpin yang
akan menyatukan negeri-negeri
kaum muslimin yang sekarang terpecah menjadi 56 negara lebih. Dengan
satu pemimpin itulah, Islam akan bisa
melawan Barat, seperti
yang pernah tertoreh
dalam sejarah berabad-abad lamanya.
Mungkin ada yang
berpikir “mimpi kali
ye” bisa menyatukan
umat muslim seluruh dunia, lha
wong para pemimpinnya
aja udah jadi
antek-antek orang Barat.
Sobat, kita nyadar banget
bahwa ini bukan
pekerjaan yang gampang
dan kita maklumi
kalo kamu bilang begitu, karena
kita yakin, kamu bilang seperti itu, karena kamu belum paham aja.
Maka dari itu,
perjuangan untuk mengembalikan
kehidupan Islam dengan
berdirinya Khilafah ini harus
diawali terlebih dahulu
dengan upaya penyadaran
umat, agar pemahaman umat
terhadap pandangan hidup Islam mantap dan sempurna. Hingga umat bisa berpikir
secara jernih bahwa
nggak ada pilihan
lain kecuali adalah
Islam. Tanpa pemahaman akan
Islam, negara Khilafah
hanya akan menjadi
“wadah” tanpa “isi”,
atau “jasad” tanpa “ruh”.
Setelah penyadaran umat,
langkah berikutnya adalah
melakukan upaya-upaya politik konkret guna mendirikan Khilafah
Islamiyah.
Dengan berdirinya Khilafah Islamiyah --Insya Allah-- maka peradaban Islam akan dapat tegak sekali
lagi memimpin dunia
untuk menyebarkan rahmat
bagi seluruh alam.
Dan dengan sendirinya, akan musnahlah peradaban Barat yang telah gagal
itu, yang selama ini tidak pernah menyebarkan
rahmat bagi seluruh
alam, melainkan menyebarkan
azab dan derita bagi seluruh
alam.
Dengan Khilafah, peradaban
Barat akan menemui
lawan yang seimbang.
Sehingga Amerika dan kroni-kroninya nggak
akan berkutik dan
nggak berani lagi
menyebarkan ajaran sesat V-Day ke negeri-negeri Islam. Di sisi lain,
upaya memberangus budaya V-Day di
negeri-negeri kaum muslimin
sendiri, jadi lebih
efektif, mudah dan
tentu aja totalitas bersihnya. Allahu Akhbar !
Semoga Bermanfaat..
klik:
lukyrouf.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar